JakOnline – Pada usia yang tak lagi muda, 52 tahun, Miftahudin Ramli, akrab disapa Pak Midun, telah menunjukkan tekad dan semangat yang menginspirasi banyak orang. Ia masih tetap kuat dan bugar saat mengayuh sepeda berkeranda dari Batu, Jawa Timur, menuju Jakarta. Namun, tugas yang diemban tak sekadar rekreasi atau tantangan fisik biasa.
Sorotan publik terhadap Pak Midun semakin menguat ketika beliau memilih untuk memulai perjalanannya dengan sepeda, membawa misi mencari keadilan untuk korban Tragedi Kanjuruhan. Tragedi yang merenggut nyawa 135 orang tersebut menggegerkan negeri, dan banyak yang merasa penegakan hukum tak berjalan seadil yang diharapkan.
Dalam perjalanannya yang tak mudah, Pak Midun bersepeda melintasi ratusan kilometer dari kota Batu, Malang ke Jakarta. Sepeda yang beliau kayuh tidak hanya menjadi kendaraan, tetapi juga menjadi simbol perjuangan. Terdapat keranda yang dipasang di sepedanya dengan tulisan berbicara “Justice for Kanjuruhan” dan “Football Without Violence”. Pak Midun juga membawa papan kardus dengan pesan yang ditujukan kepada Presiden Jokowi.
Pesan itu menjadi suara bagi mereka yang merasa terlupakan dan tidak mendapatkan keadilan setelah tragedi tersebut. Dalam pesannya, Pak Midun menanyakan tentang janji Presiden Jokowi untuk menyelidiki kasus tersebut hingga tuntas. Sudah sepuluh bulan berlalu, namun jawaban yang diterima oleh banyak korban dan keluarga masih terhanyut dalam ketidakpastian.
Sepanjang perjalanan menuju Jakarta, Pak Midun tak hanya membawa keranda dan pesan harapannya. Dia juga mengunjungi stadion-stadion di sepanjang kota, memberikan tanda kebersamaan dan keprihatinan. Aksinya ini menunjukkan bahwa Pak Midun tak hanya ingin menegaskan suaranya untuk keadilan, tetapi juga menyebarkan pesan perdamaian dan mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap tragedi yang melanda.
Satu hal yang lebih mengejutkan adalah, Pak Midun ternyata bukan berasal dari keluarga korban tragedi Kanjuruhan, melainkan seorang ASN di Pemkot Batu. Namun, kepeduliannya terhadap tragedi tersebut menjadikan dirinya bertindak. Keberanian ini adalah bukti bahwa tak selalu perlu menjadi korban langsung untuk merasa terpanggil untuk memperjuangkan keadilan.
Tragedi Kanjuruhan adalah luka yang dalam bagi Indonesia. Terjebak dalam insiden tragis saat pertandingan sepak bola pada 1 Oktober 2022, ratusan nyawa melayang dan ribuan orang mengalami luka-luka. Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkap bahwa penembakan gas air mata yang merajalela di stadion oleh aparat menjadi penyebab utama kerusuhan dan tewasnya banyak suporter. Asap gas air mata tersebut menyengat mata dan paru-paru, memicu kepanikan yang mematikan.
Namun, proses peradilan tragedi ini tidak berjalan sesuai harapan. Para tersangka mendapatkan hukuman yang dianggap ringan oleh masyarakat. Bahkan, beberapa di antaranya bebas dengan dalih embusan angin. Akan tetapi, tindakan Pak Midun adalah bukti bahwa perjuangan keadilan tidak boleh padam, dan masyarakat masih berharap adanya penegakan hukum yang adil dan sesuai dengan besarnya kerugian yang telah terjadi.
Kisah perjalanan Pak Midun bukan hanya tentang perjuangan fisik, tetapi juga tentang semangat dan tekad untuk membawa perubahan. Ia membuktikan bahwa usia dan latar belakang tidak menjadi penghalang untuk berjuang demi keadilan. Semoga langkahnya memberikan suara bagi mereka yang terabaikan dan membawa cahaya keadilan bagi tragedi yang telah menggoreskan luka mendalam dalam sejarah olahraga Indonesia. Waras-JO