Timnas gagal di AFF 2022 setelah dikalahkan Vietnam dua gol tanpa balas dalam semifinal leg ke-2. Ya, walaupun ingar-bingar AFF kali ini diselimuti duka 130 lebih nyawa yang hilang tanpa ada pertanggung jawaban dari pihak manapun. AFF layaknya Piala Dunia bagi negara di Asia Tenggara. Bagaimana tidak? Semua pesertanya belum ada satupun yang pernah berkiprah di pesta sepak bola dunia kelas senior tersebut. Eitss.. sebentar, Hindia Belanda mau dihitung? Rasanya tidak perlu.
Para pecinta sepak bola Indonesia masih selalu dengan mimpi yang sama, Timnas Indonesia meraih piala antar negara Asia Tenggara tersebut. Hingga tulisan ini diramu dan terbit, jawabannya pun masih sama. Timnas Indonesia kembali gagal dalam kejuaraan kali ini.
Sejak era Bambang, Elie, Ilham Jaya. Beranjak lagi ke era naturalisasi fenomenal bernama Cristian Gonzales bersama anak muda keturunan Irfan Bachdim. Bergeser ke sepak bola pembenahan namun penuh konflik dualisme juga gagal. Makin kesini, datangnya pelatih sekelas Luis Milla. Sekarang, kehadiran pelatih Korea Selatan Shin Tae Yong dengan bermacam teorinya; pemain abroad, fisik kuat, bentuk postur tubuh kekar. Hasilnya? “Kita coba lagi AFF selanjutnya”.
Timnas era STY lolos Piala Asia setelah 15 tahun lamanya menunggu. Tapi coba teliti lagi. Piala Asia 2023 dengan format baru 24 tim sejak 2019, slot lebih banyak dari edisi sebelumnya. Belum lagi, babak kualifikasi kali ini diuntungkan dengan tidak bertumpuknya negara kuat asia lain dalam satu grup. 2011 gagal bersaing dengan Australi dan Oman. 2015 dikubur oleh Arab Saudi serta satu grup bersama Cina dan Irak. 2019 Timnas tidak ikut kualifikasi. Edisi kali ini, kita bersaing dengan Nepal yang di bawah jauh, Kuwait yang hanya 15 tingkat di atas, serta Jordania satu-satunya tim dengan peringkat FIFA dua digit di Grup Kualifikasi. Tengok ke negara tetangga; Malaysia, Thailand, dan Vietnam mereka pun juga lolos.
AFF 2022 kembali gagal, lebih buruk dari pencapaian AFF 2020 yang melaju ke final. Kesulitannya pun masih sama, sulit mengalahkan Thailand dan Vietnam. Bahkan, melihat performanya kali ini, Kamboja patut diwaspadai pada AFF edisi selanjutnya. Apakah kita akan menambah ganjalan dengan makin naiknya performa timnas lain?
Pelatih datang dan pergi, pembenahan strategi dan percaya proses selalu digaungkan, penyudutan dan target renovasi selalu sama tentang pengelolaan liga dan federasi yang harus lebih baik. Namun, semua itu menjadi hambar lagi ketika bertemu Thailand, Vietnam, terkadang juga Malaysia. Lalu apa sebenarnya pencapaian proses pembenahan tiap seusai kegagalan di event dua tahunan ini?
Dari banyaknya teori yang selalu muncul, apakah semua pemain sudah cukup mumpuni untuk main di level internasional?
Bayangkan, hampir semua tim di Liga 1 akan bermain lambat bahkan sering tertidur dan terjatuh lebih lama ketika timnya menang. Benar, mereka akan protes, lebih kuat, dan kembali berlari, namun jika timnya kalah. “Yang begini mau ngalahin Thailand atau Vietnam?”
Belum lagi mental sering angkat tangan berharap offside ketika mendapat umpan ke jantung pertahanan. Sebaliknya, ketika wasit menganggap offside padahal itu onside, pemain dari tim yang dirugikan ramai-ramai menyindiri di media sosial. Bonus besar untuk sebuah kemenangan, apakah pencapaian para pemain selama ini hanya memiliki mobil pribadi harga 300-500 juta, rumah mewah, outfit keren? Setelah mendapatkan semuanya, ya sudah.
Selain memang federasi yang gini-gini terus, pemain coba deh, semua berpikir. Dua tahun lagi, kita coba AFF berikutnya. Kalau masih gagal, jangan lelah, coba lagi aja.
PSA JO