Persija Artikel

Your Pride is a Joke

JakOnline – Pride. Sering kan kita denger kata ini? Ke mana lagi arahnya kalau bukan untuk tim kebanggaan mayoritas warga Jakarta, Persija. Semua orang bisa nunjukkin rasa bangganya karena merasa terikat dengan tim yang cikal bakalnya dimulai sejak 1928 ini. Tidak sepenuhnya salah memang, karena sejak awal, Persija sudah jadi simbol perlawanan terhadap kaum kolonial yang berkuasa di Hindia Belanda pada saat itu.

Lagipula, wajar kalau seseorang mendukung tim sepak bola yang tidak jauh dari rumahnya. Walaupun ironinya, “rumah” dari tim itu sendiri sudah hilang sejak 2006. Tetapi sudahlah, yang penting semangat untuk terus melestarikan dan melanjutkan obor perjuangan masih tetap membara sampai sekarang.

Balik lagi ke soal pride, semua orang berlomba-lomba menunjukkan rasa bangganya dengan Persija. Tapi semakin lama, entah kenapa pride ini mulai berubah maksud dan tujuannya. Begini, tim tua ini memang jadi komoditas yang menggiurkan. Ada tiga aspek dominan yang biasanya dikejar dengan memanfaatkan “rasa bangga” ini yakni popularitas, reputasi dan materi. Tiga hal ini bisa dibilang saling berkaitan. Coba kita jabarin satu-satu.

Mulai dari yang pertama: popularitas. Biasanya terjadi pada orang-orang yang mengejar eksistensi di media sosial. Berkembangnya era teknologi membuat akses informasi lebih cepat menyebar. Sekarang semua orang bisa mendadak populer dengan membonceng Persija. Media sosial jadi alat paling ampuh untuk mempromosikan pribadi dan mendongkrak popularitas.

Dengan menjual kesan paling cinta, paling berjuang, paling loyal, dan paling-paling lainnya, semua bisa terkenal sekarang. Merasa punya materi berlebih, bisa menikmati fitur-fitur yang tidak didapat orang lain, kemudian langsung merasa paling berjasa, paling berkorban, dan paling berjuang. Kasus paling sering adalah merasa hak untuk menghakimi pemain, perangkat tim, juga sesama suporter.

Ada juga yang kurang berbakat, tapi mempunyai modal tubuh di atas rata-rata, unggah foto seksi di Instagram, jadi terkenal, lumrah lah. Khusus untuk kasus ini, sepertinya memang sejalan literasi seksisme yang masih belum merata di kalangan suporter kita. Ujung-ujungnya cuma bisa berlindung di balik frasa cringe ‘ini kan bentuk dukungan gue untuk Persija’. Ya memang sih, hak masing-masing orang.

Ada juga kalangan yang sebenarnya cuma mengejar materi. Ini agak berat dan sensitif untuk dibahas. Tapi sepertinya kita semua bisa setuju ada segelintir orang yang seperti ini. Jauh sebelum internet masuk ke setiap sendi kehidupan masyarakat urban sekarang, pride sudah menjadi barang dagangan, literally barang dagangan. Caranya dengan memanfaatkan logo serta jargon-jargon tertentu. Entah ilustrasi soal kecintaan kepada klub, kehidupan sosial antar suporter, akulturasi budaya luar. Bahkan yang menyedihkan adalah penggiringan pride ke arah kebencian kepada klub lain. Khusus poin terakhir ini, untungnya di Jakarta sudah sulit ditemukan. Pride di bagian merch dan dagangan ini pemainnya pun beragam. Mulai dari industri mikro yang bertahan dengan sistem pre-order, industri menengah yang menguat karena punya pasar loyal dan siap membeli apapun produknya, hingga produsen besar yang berani mengambil bagian menjadi sponsor. Eh, ga terlalu besar juga sih ya kalau masih buka PO 🙂

Memang tidak semuanya sembarangan memanfaatkan pride. Ada juga yang memang tulus dan benar-benar hanya ingin menonton atau melihat Persija. Ada kerabat dekat saya yang rela menjadi kuli harian untuk mencari “lebihan” hanya untuk melihat Persija berlaga di kandang lawan nan jauh di sana. Tur tandang, yang suka tidak suka, ujung-ujungnya cuma jadi sapi perah kelompok pencari keuntungan materi di atas. Ironisnya, ada juga yang melihat loyalitas kawan-kawan ini menjadi komoditas.

Tidak perlu bilang apa dan siapa. Masing-masing kita juga pernah punya pengalaman yang sama kan? Misalnya, calo tiket, broker bus AKAP, perizinan aparat, bahkan katebelece pimpinan daerah. Lagi-lagi ini soal hak dan kebebasan masing-masing, karena isi kepala dan hatimu tidak lebih baik dari isi kepala mereka. Apalagi soal hati. Tidak ada yang berhak menjadi jaksa.

Intinya, banyak dari teman-teman suporter yang rela keluar banyak uang hanya untuk memenuhi hasrat tertentu, bentuknya bisa bermacam-macam. Tapi toh yang keluar uang sepertinya rela-rela saja, selama memang bisa mendapatkan sesuatu dan hasrat dunianya terpenuhi. Nikmati saja lingkaran ini, saat ini mungkin kita menjadi kelinci, jangan sampai besok menjadi serigala. Kalau mampu jadilah pemburu yang mengoleksi kepala serigala. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita semua menjadi bagian dari itu. Nikmati saja kuemu, hingga liga kembali bergulir. Satu hal yang penting, semoga kita masih bisa sama-sama. Maaf lahir batin.  (jakonline)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

X