Jakarta Artikel

Dari Sudut Mana Memandangnya, Seperti itulah Jakarta 

JakOnline –

Semua serba ada. Dari menjadi gerbang bagi setiap tren modernisasi, hingga gedung-gedungnya yang menjulang. Inilah Jakarta.

***

Kota ini penuh sesak keramaian di dalamnya. Bersaing, mengejar ambisi dan tujuan bagi siapapun yang memutuskan tinggal dan menetap di Jakarta. 

Memang benar pembangunan yang ada kini kian merata. Setidaknya setiap provinsi memiliki ibukota yang juga menjadi pusat ingar-bingar daerah sekitarnya. Jakarta memang tidak menawarkan suguhan wisata dengan keindahan alam yang beragam. Tetapi, dengan menyandang status ibukota negara, Jakarta tak pernah kehilangan daya tarik untuk mereka yang ingin datang menjajal atau bahkan tinggal.

Jika Solo dan Jogja bisa dipastikan sebagian besarnya adalah orang Jawa atau Bandung yang identik dengan suku Sunda, Jakarta berisikan lebih banyak orang dengan latar belakang, tergantung dari mana orang ingin melihatnya. 

Tidak berlebihan jika mengatakan kota ini mewakili secara singkat wajah masing-masing daerah di Indonesia. Macet, panas, banjir, kota ini tidak pernah sepi layaknya seorang penjual yang gagal menyediakan produk yang baik dari dagangannya. 

Dengan suku budaya penduduknya beraneka ragam, tampak muka Jakarta pun tergantung dari mana kacamata yang ingin menilainya. Memang benar Jakarta banyak memiliki gedung tinggi yang indah gemerlap lampu yang terang, boleh saja mengatakan Jakarta di isi rumah mewah. Tetapi, sah saja jika ada yang bilang  ‘tinggal di Jakarta jalannya sempit, di dalam gang’. 

Jika ada yang bilang ‘warga kami banyak orang Batak’ atau ‘di RT saya didominasi Ambon’, itu sah-sah saja. Tergantung ada di mana Anda berdiri dan bagaimana sekitar Anda. Demikian pula halnya jika ada yang punya pandangan ‘semua orang Jakarta suka Persija kok!’. Tetapi tidak jauh dari situ, ada yang bahkan tidak tahu siapa Ismed Sofyan. 

Sah saja. Itu tergantung di mana Anda berpijak, dengan siapa Anda bersosialisasi, konten media apa yang Anda konsumsi, apa yang dibaca, film macam apa yang ditonton, jenis musik apa yang didengarkan, dengan siapa Anda nongkrong, apa lagi?

Kehidupan masyarakat di Jakarta juga tidak bisa jika hanya dipelajari hingga khatam setahun atau dua tahun saja. Warganya sendiri yang sejak lahir dan sudah lama tinggal bisa saja tidak saling kenal satu dan lainnya karena begitu heterogennya kota ini. 

Kemajuan yang pesat, wilayah yang luas, bermacam suku yang tinggal, membuat setiap bagian kehidupan masyarakatnya memiliki keasyikan dan klaim kehebatan masing-masing. Hiruk-pikuk ibu kota terjadi di segala lini.

Pagi hari Jakarta sudah sibuk dari segala lini transportasi yang ada. Motor yang berjalan semrawut, mobil yang berebut masuk atau keluar pintu tol untuk memangkas durasi perjalanan. Belum lagi Transjakarta atau di Commuter Line yang penuh sesak dengan orang-orang dari berbagai penjuru. Tidak ketinggalan pula ada MRT yang kini menjadi moda transportasi alternatif pilihan. 

Siang hari Jakarta tidak begitu saja sepi, geliatnya masih sama. Ada pekerja shift siang, pekerja lapangan, orang kantoran yang mencari makan siang atau meeting dengan klien. Siklus ramai di ini terus terputar kembali sore hingga malam. Sebelum pandemi menjalar ke seluruh belahan dunia, malam hari Jakarta ramai dengan suara jejak langkah kaki atau gerungan mesin kendaraan. Jakarta masih terbangun untuk mereka yang ingin mencari kesenangan atau sekadar menikmati malamnya.

Jakarta, dalam hari-harinya tidak hanya menyediakan ruang untuk warganya. Warga Depok, Bekasi, Tangerang, Bogor juga memiliki intensitas yang tinggi setiap hari keluar masuk Jakarta. Para pekerja menempuh satu jam dari Depok, satu jam setengah dari Bekasi atau Tangerang, dua jam dari Bogor, macam-macam pola kehidupan tersebut tersaji di Ibukota. 

Ada yang bilang, hidup di Jakarta keras, harus kuat-kuat. Tergantung, cara pengepul barang bekas memandang kota ini, bisa jadi berbeda dengan pekerja di kawasan segitiga emas yang setiap hari commuting keluar masuk Jakarta.

Sah memang jika disebut Jakarta adalah kotanya para pemenang. Tagline Persija itu memang tidak hanya berlaku untuk konteks sepakbola, tetapi juga seluruh kehidupan warganya. Alarm di pagi hari tidak ubahnya peluit pembuka pertandingan yang mengharuskan para pemainnya tancap gas sejak awal, untuk menghadapi deru keramaian kota. 

***

Sehat selalu untuk semua yang ada, mari bersama menikmati kencangnya Jakarta. Bukan menyalahkan kerasnya tempaan, kitalah yang harus menyesuaikan. Dirgahayu Jakarta! Jaya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

X