JakOnline – Sepak bola Indonesia kembali berduka. Ratusan nyawa melayang selepas pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Mayoritas korban meninggal karena menghirup asap gas air mata. Sebuah tragedi yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah bangsa ini berkutat dengan olahraga kulit bundar.
Kejadian tersebut jelas menjadi tamparan keras bagi seluruh insan sepak bola Indonesia. Ini memang bukan pertama kalinya insiden pasca-pertandingan serupa terjadi. Namun, kali ini terasa berbeda.
Tak ayal, linimasa media sosial dibanjiri ungkapan dan ucapan duka. Semua orang terdiam menyaksikan bertambah demi bertambahnya jumlah korban yang berjatuhan. Di tengah duka dan kesedihan yang mendalam, keajaiban mulai terlihat.
Dengan sendirinya, basis-basis suporter sepak bola nasional seakan serempak untuk melupakan dulu sejenak pertikaian dan rivalitas yang sudah terjalin lama. Semua sepakat bahwa ini adalah pekan berduka, demi solidaritas untuk Arema dan Aremania.
Memasuki hari kedua, linimasa media sosial mulai dikotori oleh komentar dari orang-orang yang seperti terkoordinir untuk menyalahkan suporter sebagai biang keladi insiden tersebut. Dibarengi dengan pernyataan-pernyataan “ajaib” dari para pemangku kepentingan.
Mulai dari yang lebih mementingkan nasib Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20, pembuka pidato dengan ucapan ‘yang berbahagia’, hingga sebuah institusi yang sudah jelas kita tahu kinerjanya seperti apa. Tidak ketinggalan pula, pemegang hak siar yang seakan cuci tangan dengan tragedi ini.
Langkah-langkah yang diambil semakin membuat publik ragu tragedi diusut tuntas dan transparan. Mulai dari tim pencari fakta PSSI yang dipimpin oleh ketua PSSI sendiri hingga operator liga yang bertingkah seakan tidak terjadi apa-apa.
Memasuki hari ketiga, mulai bermunculan pengaduan dan pengakuan dari teman-teman suporter Arema yang mendapatkan intimidasi institusi di atas. Jika sudah begini, tidak ada cara lain. Setidaknya, jika kita sudah melihat arah penyelidikan dan pengusutan mendapatkan intervensi atau manipulasi, kita harus bersatu dan kompak menyikapi tragedi ini.
Ini seharusnya menjadi sinyal bagi seluruh elemen suporter Indonesia untuk bersatu. Terutama bagi empat kelompok besar yakni, the Jakmania, Bobotoh/ Viking, Aremania dan Bonekmania. Tanpa mengurangi rasa hormat dan tanpa bermaksud tidak memperhitungkan basis suporter lain.
Salah satu hal terbesar yang bisa dijual dari sepak bola kita selain pertandingan timnas adalah rivalitas suporternya. Jadi, setidaknya kita bisa menghilangkan salah satu “barang jualan” tersebut dengan kompak untuk menyudahi perselisihan ini.
Jangan dulu berbicara soal damai. Setidaknya, elemen suporter bisa kompak untuk bergerak ke arah rivalitas yang lebih waras. Rivalitas yang meski saling lempar sindiran, tetap tidak berlanjut ke arah dendam atau bahkan kontak fisik.
Dalam konteks tragedi ini, yang bisa kita lakukan adalah dengan sama-sama menahan diri dari segala gesekan dan fokus kompak dalam mengawal tragedi ini. Hingga segala pengusutan dan penyelidikan menghasilkan sesuatu yang memuaskan bagi kita, para suporter, sebagai salah satu penggerak utama roda sepak bola nasional. jakonline