JakOnline – Dari era Martin Vunk sampai Evan Dimas, ada saja halangan bagi Persija Jakarta tampil di kompetisi kasta tertinggi dengan skuad glamor. Justru ketika komposisi tim sedang biasa saja, gelar juara liga berhasil diraih. Ini ada apa sebenarnya? Hukum alam bekerja sedemikian misterius.
Mundur kembali ke pertengahan 2015, Persija menggebrak bursa pemilihan pemain dengan mendatangkan nama-nama mentereng. Sebut saja mulai dari Stefano Lilipaly, Raphael Maitimo, Greg Nwokolo, hingga dua pemain Eropa, Martin Vunk dan Evgeni Kabaev.
Kompetisi sempat bergulir namun baru seumur jagung. Kemenpora ketika itu memilih untuk membekukan PSSI hingga kompetisi pun terhenti dengan alasan force majeure. Belakangan barulah FIFA menganggap ada intervensi pemerintah dalam pengelolaan federasi hingga akhirnya menjatuhkan sanksi larangan kegiatan sepak bola di tanah air.
Angan para penggemar untuk melihat Persija tampil dengan skuad bertabur bintang pun urung menjadi kenyataan. Kejadian yang sama terulang lima tahun kemudian. Selama jeda kompetisi setelah musim 2019, nama demi nama pun diumumkan menjadi pemain Persija.
Mulai dari Evan Dimas, Marco Motta, Alfath Fathier, hingga Mark Klok, melengkapi kepingan puzzle Persija dengan para pemain bintang yang sudah ada. Optimisme pun kembali menggunung. Namun baru tiga pertandingan, kompetisi kembali terhenti karena pandemi.
Rasa penasaran publik sempat terbayar ketika melihat Persija tampil di Piala Menpora 2021 dan berhasil keluar sebagai juara. Namun sejak saat itu, beberapa pemain pindah ke tim lain. Mulai dari Sandi Sute, Shahar Ginanjar, sampai yang terakhir ada Alfath Fathier.
Dari dua kasus 2015 dan 2020, setidaknya ada persamaan besar yakni ketika Persija memulai kompetisi dengan skuad yang lebih siap dari biasanya, ada saja halangannya. Seakan-akan semesta tidak mendukung tim ini “bermewah-mewah”.
Tanpa bermaksud mengecilkan efek pandemi, sejarah tetap mencatat bahwa dua kali Persija punya skuad mewah, dua kali pula pembuktian kompetisi satu musim penuh mengalami kendala. Mungkin saja memang tidak perlu susunan pemain bintang di semua lini karena saat juara Liga 1 2018, skuad Persija tidak tergolong bertabur bintang.
Justru yang diperlukan untuk menjadi juara adalah kekompakan tim baik di dalam serta di luar lapangan. Hal tersebut dapat membentuk atmosfer positif sehingga para pemain bisa saling menguatkan dan saling percaya bahwa mereka bisa melakukan yang terbaik di kompetisi. abdi/jo